Inibaru.id – Tiba di Situs Lawang Keputren Bajang Ratu, sebentuk pendapa sederhana menyambut saya dengan ketenangannya. Hari itu memang nggak ada pelancong lain yang berkunjung. Selain saya, hanya ada satu orang di tempat yang dikenal sebagai "Gerbang Majapahit" itu, yakni Budi Santoso.
Lelaki yang akrab disapa Mbah So itu merupakan sesepuh Dukuh Rendole, Desa Muktiharjo, Kecamatan Margorejo, Kabupaten Pati, tempat diletakkannya benda cagar budaya berbahan kayu jati murni tersebut. Dengan kretek menyala di sudut bibirnya, dia langsung tersenyum ramah saat melihat kedatangan saya.
“Setelah Majapahit runtuh tahun 1479, datanglah para wali menyebarkan Islam di Tanah Jawa,” tutur Mbah So begitu kami duduk bersisian, mengawali kisah Lawang Keputren Bajang Ratu yang saya tanyakan. "Dari situlah cerita Gerbang Majapahit ini tercipta."
"Salah satu kisah paling menarik tentang pintu ini adalah cerita Sunan Muria yang menikahi Dewi Sapsari," lanjutnya sembari menunjuk lawang atau pintu kuno yang dipagari dinding kaca tersebut.
Syarat untuk Menemui sang Ayah
Berdasarkan penuturan Mbah So, Dewi Sapsari adalah putri dari Ki Gede Sebo Menggolo, keturunan dari salah seorang penguasa terkenal di Kerajaan Majapahit, yakni Kertabhumi alias Brawijaya V. Pernikahan Dewi Sapsari dengan Sunan Muria melahirkan seorang putra bernama Raden Kebo Nyabrang.
“Kebo Nyabrang yang akhirnya tahu bahwa dirinya adalah putra Sunan Muria pun ingin bertemu sang ayah di lereng Muria,” ungkap Mbah So sembari mengingat-ingat kembali kisah itu.
Namun, pertemuan tersebut nggak bisa terjadi dengan mudah karena Sunan Muria belum bisa mengakui Kebo Nyabrang sebagai putranya. Ulama bernama asli Raden Umar Said yang merupakan anak dari Sunan Kalijaga ini kemudian menetapkan satu syarat.
“Kalau kamu mau aku akui, bawalah pintu keputren Majapahit dari Trowulan ke sini dalam satu hari!” demikian syarat Sunan Muria untuk Kebo Nyabrang, sebagaimana dikatakan Mbah So.
Perebutan Pintu Keputren Majapahit
Sunan Muria tinggal di Lereng Muria, diperkirakan sekitar daerah Dawe, Kudus. Sementara, Trowulan terletak di Mojokerto. Dari segi jarak, kala itu hampir mustahil menempuh perjalanan bolak-balik Kudus-Mojokerto dalam sehari. Namun, Kebo Nyabrang tetap menerima tantangan ini.
"Dalam pencarian, Kebo Nyabrang bertemu Raden Rangga, pemuda lain yang juga mencari pintu (keputren Majapahit) Bajang Ratu demi meminang Rara Pujiwati, putri Sunan Ngerang," papar Mbah So.
Karena nggak ada yang mau mengalah, kedua orang tersebut pun saling berkejaran, lalu beradu kesaktian di hutan yang dipercaya Mbah So dan masyarakat Rendole berlokasi di sebelah barat Pati. Pertarungan ini, dia melanjutkan, berlangsung selama 35 hari dan nggak kunjung mendapatkan pemenang.
"Sunan Muria kemudian turun tangan, menghentikan perkelahian dengan mengakui Kebo Nyabrang sebagai putranya," ujar Mbah So.
Ditetapkan sebagai Cagar Budaya
Setelah konflik reda, pintu yang konon diambil dari Gapura Bajang Ratu, peninggalan Majapahit di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto itu tertinggal di wilayah yang kini dinamai Dukuh Rendole. Pintu tersebut kemudian dikenal sebagai Lawang Kaputren Bajang Ratu hingga sekarang.
Melihat dari dekat Gapura Majapahit membuat saya teringat kembali kisah dramatis yang baru saja dituturkan Mbah So. Benda kuno ini tampak megah berukir boma bersayap garuda yang melambangkan penjaga abadi. Bekas sesaji dan dupa di depan pintu menunjukkan penghormatan masyarakat setempat terhadap situs ini.
“Lawang Keputren Bajang Ratu adalah lambang budaya lama yang hidup bersama ajaran Islam yang bijaksana di Tanah Jawa,” tutup Mbah So.
Ditetapkan sebagai cagar budaya pada 1989, Lawang Keputren Bajang Ratu menjadi bukti sejarah yang terpisah sejauh ratusan kilometer dari pusat pemerintahan Majapahit di Trowulan. Kalau kebetulan sedang berkunjung ke Pati, jangan lupa mampir ke sini ya, Millens! (Imam Khanafi/E03)