Inibaru.id – Ada banyak kuliner khas Solo yang populer. Tapi, satai buntel bisa dikatakan punya cerita sejarah yang sangat unik. Soalnya, ada dua versi sejarah terciptanya kuliner ini yang sangat berbeda.
Meski sudah populer di sekitar Solo dan Jawa Tengah, nama satai buntel semakin dikenal karena menjadi salah satu makanan favorit Presiden Jokowi saat pulang kampung. Konon, presiden Indonesia yang ke tujuh ini sering mampir ke Warung Sate Kambing Bu Hj. Bejo yang berlokasi di Jalan Sungai Sebakung Nomor 10, Kedung Lumbu. Di warung yang sudah eksis sejak 1970-an itulah, Jokowi sering memesan satai buntel yang disajikan dengan kuah tengkleng.
Kalau menilik dari namanya, ‘buntel’ berasal dari kata Bahasa Jawa yang bisa diartikan sebagai ‘bungkus’. Realitanya, satai ini memang ‘dibungkus’, Millens.
Begini, karena bahan utamanya adalah daging kambing cincang, tentu sulit untuk ditusuk dengan tusukan, bukan? Oleh karena itulah, daging cincang itu dibungkus dengan lemak kambing sebelum dibakar. Pantas saja bentuk satai yang satu ini anti-mainstream.
Balik lagi ke sejarah terciptanya satai buntel. Nah, untuk versi pertama, kabarnya penganan ini sebenarnya adalah versi lokal dari kuliner khas Timur Tengah dan India.
Pada zaman dahulu, banyak pedagang dari dua kawasan tersebut yang mampir atau bahkan bermigrasi ke wilayah Surakarta dan sekitarnya. Banyak dari mereka kemudian membuka usaha kuliner dan memperkenalkan kuliner khas tempat asalnya ke masyarakat lokal. Salah satunya adalah kebab yang disebut-sebut sebagai cikal bakal dari satai buntel.
Meski begitu, menurut Indonesiakaya, ada versi lain dari kemunculan satai buntel di Solo. Yang memperkenalkannya adalah orang keturunan Tionghoa bernama Lim Hwa Youe. Saat tinggal di Tambak Segaran, Solo pada 1948, dia terpikir untuk mengolah sisa daging kambing yang keras di dapurnya.
Karena keras, dia memilih untuk mencincangnya agar lebih mudah dimakan. Setelah itu, dia mencampurkan daging cincang tersebut dengan rempah-rempah. Nah, biar nggak pecah saat dibakar, daging cincang itu dibungkus (dibuntel) dengan lemak kambing. Ternyata, eksperimen ini berhasil.
Setelah diperkenalkan ke keluarganya, satai buntel ini juga disukai oleh orang-orang sekitar. Sejak saat itulah, satai buntel digemari dan jadi kuliner khas Solo.
Salah satu keunikan dari satai buntel adalah ukurannya yang cukup besar jika dibandingkan dengan satai-satai pada umumnya. Maka dari itu, kalau kamu membelinya di warung, jangan heran kalau yang disajikan per porsi paling hanya dua atau tiga tusuk.
Meski ada dua versi sejarah terciptanya satai buntel, kita semua setuju ya kalau kuliner khas Solo ini adalah harta karun yang harus selalu dilestarikan? Yuk, kapan kita wisata kuliner yang satu ini di tempat asalnya? (Arie Widodo/E10)