Inibaru.id – Kumandang selawat tarhim sebelum azan zuhur terdengar dari masjid di permukiman Desa Jubelan, Kecamatan Sumowono, Kebupaten Semarang. Suara merdu itu menjadi penanda bagi Tri dan para petani lain di sawah desa itu untuk segera pulang ke rumah untuk beribadah dan beristirahat. Dia segera menyelesaikan pemberian pupuk untuk tanaman buncis yang sudah menjuntai lebih tinggi dari tubuhnya.
Sejurus kemudian, Tri dihampiri Sikah, tetangga ladangnya. Perempuan itu menggendong hasil panen jahe seberat 50 kilogram. Sebelum pergi, dia berpesan kepada Tri untuk memetik dan menjual bunga mawarnya pada Rabu (13/11), dan Kamis (14/11).
“Nanti kan Kamis Kliwon, biasanya laris bunganya sejak Rabu pagi. Jualnya kalau bisa sebelum jam 06.30 WIB biar laku,” ucap Sikah pada Tri.
Saran Sikah ini bukan tanpa alasan. Tri baru pulang kampung pada pertengahan 2024 dan mulai bertani sejak 2 bulan terakhir. Wajar jika dia masih awam soal pertanian. Syukurlah, keluarga dan para tetangga berbaik hati memberikan saran, nggak terkecuali Sikah. Apalagi, Sikah dikenal andal bertani sehingga hasil panen dari ladangnya melimpah.
Track record bertani Sikah yang moncer ini membuat Tri mendengarkan sarannya yaitu menjual bunga sebelum pukul 06.30 WIB. Tapi, dia jadi bertanya-tanya pukul berapa bunga harus dipetik? Kalau dia memetik di sore hari sebelumnya, bunga akan layu dan kurang laku. Dengan membulatkan tekad dia memutuskan untuk memetik usai mengerjakan salat subuh.
Sebagai petani newbie dia sempat khawatir jika harus bekerja di kegelapan seorang diri. Namun, dia keliru.
“Jujur aku sempat khawatir kan di ladang jam segitu gelap banget ya nggak ada lampu, mikirku juga nggak ada orang. Tapi ternyata sudah banyak yang memetik bunga sejak pukul 03.00 WIB,” ucap Tri, Rabu (13/11).
Kekhawatiran Tri menguap seketika begitu berjumpa beberapa petani lain yang juga memetik bunga. Berbekal senter menyala di kepala, mereka mengambil kuntum-kuntum mawar yang segar.
Suhu dingin di bawah 17 derajat Celsius membuat udara napasnya terlihat jelas dari sorot cahaya senter yang dipasang di kepala Tri. Dengan cekatan, dia mengambil mawar-mawar berukuran besar yang sudah mekar dengan aroma yang kuat lalu menjatuhkannya ke dalam ember. Mawar yang masih kuncup dia tinggalkan untuk dipanen esok hari. Seringkali jilbab, sarung tangan, atau pakaiannya tersangkut duri dan membuatnya kerepotan. Tapi, gangguan kecil itu nggak menghentikan aktivitasnya. Dia terus melanjutkannya sampai langit berangsur terang
Dia melihat Sikah dan takjub karena tangannya begitu lincah memetik mawar. Sikah bahkan menyelesaikan pekerjaan itu lebih cepat. Hm, jam terbang memang berpengaruh pada skill ya?
“Cepat karena tangannya sudah 'hapal' dengan lokasi bunganya. Ayo segera dijual, matahari sudah terbit,” ajak Sikah ke Tri sembari berjalan ke sepeda motor matic-nya.
Lima belas menit kemudian, Tri mampu memetik lebih dari dua ember mawar. Mawar-mawar ini dia pilah lalu ditempatkan di sejumlah senik (keranjang) rotan untuk dijual di Pasar Bandungan, Kabupaten Semarang yang berjarak 5 kilometer dari rumahnya.
Pada Rabu, mawarnya laku Rp40 ribu per keranjang. Di hari berikutnya, dia mampu menjual mawar Rp50 ribu per keranjang. Harga ini berkali-kali lipat dibandingkan dengan harga mawar di hari lain yang terkadang hanya laku Rp5 ribu atau Rp10 ribu per keranjang.
Senyum Tri merekah selama perjalanan pulang. Dia senang karena memetik bunga di tengah gelapnya malam jadi pengalaman baru baginya. Apalagi, untuk aktivitas yang dilakukan hanya sekitar 2 jam itu, keuntungan yang dia dapat lumayan. Dia pun menanti hari Rabu dan Kamis berikutnya untuk melakukan aktivitas yang sama. (Arie Widodo/E05)